Tugas Perancangan Media Cetak (majalah) bidang studi Desain Grafis kelas XI SMA Negeri 1 Kebomas Gresik

Berikut adalah deskripsi dan ketentuan tugas desain grafis kelas XI SMA Negeri 1 Kebomas Gresik dengan konsentrasi perancangan media cetak (majalah/zine)

1. Platform media berukuran kwarto/ letter dengan margin setiap sisinya 1 cm.

2. Jumlah halaman berkisar antara 4-5 halaman tergantung jumlah anggota kelompok redaksi dan tidak termasuk cover.

3. Majalah boleh berwarna ataupun hitam putih saja, dan dianjurkan memakai kertas inkjet paper untuk cetak warna.

4. Tema majalah bebas asal satu majalah hanya mempunyai satu tema/ issue dan terdiri dari beberapa sub issue.

5. Untuk layout, jumlah kolom dan baris setiap halaman diharapkan sama terlebih untuk halaman yang mempunyai banyak konten.

6. Dikumpulkan dalam versi cetak dan pdf (dikumpulkan di email artofsman1kebomas@gmail.com)

apabila ada ketidakjelasan bisa langsung menghubungi saya, terima kasih.

 

Understanding Graphic Design for Dummy part 1

Berikut adalah screenshot dari materi presentasi saya untuk bidang studi muatan lokal desain grafis kelas XI.

Slideshow ini membutuhkan JavaScript.

untuk link donlot materi lengkap dengan file powerpoint ada di bawah ini:

http://www.ziddu.com/download/16117538/understanding_graphic_design_for_dummy_the_beginner_.ppt.html

Aula Geladak….

Beberapa malam yang lalu sebelum bulan romadhon tiba. Mendadak ketika aku sedang tidur, tangan kananku kesemutan karena berada diposisi yang salah namun antara sadar dan tidak aku melihat ada sekelabatan kutu busuk atau “tinggi” dalam bahasa jawa yang menggerayangi tanganku padahal makhluk ini terakhir aku lihat sudah hampir 10 tahun yang lalu. Setelah itu aku merasa kembali di tahun ketika aku masih menuntut ilmu di pesantren Ilmu al Quran (PIQ) bimbingan K.H.M Basory Alwy.

Diantara bayangan mataku yang masih terkantuk-kantuk aku merasa di berada di sebuah aula, aula yang sangat familiar, aula yang berlantaikan bilahan papan-papan kayu, aula yang berfungsi sebagai tempat aku mengaji dulu, sholat bahkan tidur sekalipun yaitu aula geladak. Entah, sepertinya aku tersedot oleh mesin waktu di dalam alam bawah pikiran yang membawaku sekitar beberapa tahun yang telah lalu, diantara bayangan terlintas aku bisa melihat beberapa kawan lamaku yang sedang bergurau, ada yang sedang murojaah al Quran, belajar pelajaran sekolah dan seperti biasa ada juga yang sedang tidur. Sebuah hal yang tidak bakal terulang lagi di sisa umurku. Kemudian salah satu teman akrabku waktu itu kemudian tersenyum memandangku dan seolah-olah beliau membangunkanku. Dan benar saja kemudian aku sontak terbangun. Namun ternyata aku kembali ke ruang tidurku, di rumahku. Semuanya hilang. Keriuhan teman-teman di pesantren, suara murojaah al Quran dan pandangan aula geladak.

Tak terasa, air mata ini mengalir begitu saja. Terus terang aku rindu saat-saat itu, rindu saat kami harus sekuat tenaga berjuang sebagai tholibul ilmi di pesantren dan juga di sekolah formal seperti biasanya. Rindu saat kami sarapan nasi yang sudah kering berlauk telur tepung. Rindu saat kami mendengarkan pengajian Murobbi Arwakhinaa K.H.M Basory Alwy dan sudah barang tentu rindu akan berkumpul dengan beliau. Aku rela menukarkan kehidupanku sekarang dengan keadaan saat itu dulu……

tiba-tiba adzan shubuh berkumandang dan sayup-sayup terdengar “man anta? anaa tilmiidzun…….” “aina kitaabika? kitabii alaal qursyii…”

Mengelola Pembelajaran Seni dan Budaya part 1

alhamdulillah, sudah 4 tahun berjalan dengan singkat sejak aku memilih guru seni dan desain sebagai profesi. dalam waktu yang bisa dikatakan singkat itu tentu banyak sekali hal-hal yang perlu dievaluasi dan diapresiasi agar kedepannya nanti aku bisa menjadi sosok pengajar dan guru seni desain yang mendekati sosok ideal, tentunya dari segi kegiatan pembelajaran. Aku tidak percaya kalau pengalaman adalah guru yang terbaik, tetapi pemaknaan akan pengalaman itulah yang terpenting. Percuma saja dengan banyaknya pengalaman tetapi kita bagaikan berjalan ditempat dan akan lebih baik lagi dengan sedikit pengalaman dan ditambah dengan pemaknaan yang mendalam akan menghasilkan efek yang luar biasa dalam kehidupan.

Dalam waktu 4 tahun itu, ada berbagai kendala yang aku hadapi terutama dalam proses pembelajaran dan sampai saat ini tidak bisa terjawab. Aku harap dengan postinganku kali ini ada para pakar pendidikan yang membaca dan akhirnya memberikan pencerahan apa yang harus kulakukan untuk mengatasinya. adapun permasalahan itu adalah :

1. Seni selalu digeneralisasikan oleh semua pihak. Guru seni dan budaya selalu dianggap mampu menguasai semua bidang seni, entah seni musik, rupa ataupun tari bahkan seperti aku ini berangkat dari latar belakang desain komunikasi visual. Setiap ada kegiatan yang berbau kesenian, guru seni selalu diandalkan sebagai ujung tombak, tidak salah memang karena bisa dikatakan itu adalah sebuah resiko, namun ranah seni rupa dan seni musik misalnya mempunyai perspektif estetika dan teknik yang sangat berbeda. Nah yang menjadi permasalahan ada bagaimana memberikan pengertian kepada khalayak bahwa khasanah seni itu sangat luas dan masing-masing ranah seni itu mempunyai estetikanya masing-masing?

2. Sesuai dengan tujuan pendidikan nasional, bidang studi seni dan budaya harus mampu mengakomodir semua kebutuhan siswa akan nilai estetika. Namun yang menjadi permasalahan adalah tidak semua siswa mempunyai ketertarikan yang sama terhadap salah satu ranah seni. Masing-masing mempunyai selera dan bakat yang berbeda-beda. Hal inilah yang menyebabkan kesulitan aku sebagai guru seni untuk mengadakan proses pembelajaran yang menyenangkan, dikarenakan tidak semua kebutuhan siswa dapat terakomodir. Berangkat dari poin nomer 1 diatas, akhirnya semua siswa “dipaksakan” untuk mengikuti salah satu ranah seni yang dikuasai oleh guru yang bersangkutan dan ini memang kurang baik dan tidak sesuai dengan tujuan pendidikan. ada yang mempunyai perspektif lain?

3. Seni selalu dipengaruhi oleh perkembangan teknologi. Entah itu dari segi peralatan berkarya yang semakin canggih, media yang semakin beragam dan lain sebagainya. Guru seni juga terkadang adalah seorang seniman yang menghasilkan karya. Namun apabila dalam status guru, dia harus mampu meredam egonya sebagai seniman. Ego dalam melihat sudut pandang berkesenian. Masih banyak guru seni yang selalu mengajarkan dan memang masih dijumpai di berbagai buku cetak seni yaitu materi tentang aliran-aliran seni. Dimana mengedepankan bahwa karya seni yang agung adalah karya seni yang dibuat dengan teknik tertentu, media tertentu dan standar tertentu. Aku rasa dunia sudah berubah. youtube dan deviantart sudah mengubah segalanya. Tentunya hal ini harus disambut dengan gegap gempita oleh semua guru seni karena dengan  mudah karya mereka mampu dipertontonkan kepada khalayak umum dalam dunia maya walaupun toh dengan resiko pembajakan karya. Kurikulum seni yang kolot harus segera diubah agar bisa mengikuti zaman, karena tidak mungkin belajar tentang lukisan monalisa selamanya.

Aku rasa hanya ini beberapa permasalahan yang aku jumpai, dan tidak menutup kemungkinan untuk menambah daftarnya di kemudian hari.

Best Regards…Rangga wahyudiarta..

Sikap egois harus dimiliki seorang designer

kita semua tahu bahwa masalah selera seni dan desain adalah berkaitan erat dengan pandangan masing-masing individu yang mengapresiasinya.
Kadangkala saat seorang designer berusaha keras mempresentasikan sebuah konsep yang unik dan dieksekusi dengan teknik yang aduhai tidak berjalan mulus dengan selera klien. Hal ini sudah menjadi cerita lama dan akan menjadi debat kusir yang berkepanjangan kalau kita memaksakan membahasnya.

cuma, demi nama profesi designer, entah itu designer promosi, designer iklan, bahkan designer papan baliho yang berada di pinggir-pinggir jalan sebuah sikap harus kita ambil. yaitu EGOIS, mungkin terlalu ekstrem tapi memang begitulah adanya terutama menyangkut tentang sebuah apresiasi. Semua designer, saya yakin mempunyai standar dan perspektif tentang sebuah estetika akan karya desainnya. Saya yakin juga bahwa seorang tukang letter pinggir jalanpun sadar akan sebuah estetika yang dibentuk oleh pengalaman kerjanya walaupun dia tidak mengenyam pendidikan formal. Egois disini adalah sebuah sikap defensif dalam menghadapi seseorang bahkan dia klien kita yang menilai dan mengapresiasi standar hasil seni dan desain kita.

ya..egois…egois yang berdasar dan beralasan. Egois karena sebagai seorang individu, designer berhak mendapatkan sebuah penghargaan atas kerjanya. Penghargaan yang tidak dikalkulasi dengan budget tetapi lebih dengan hati. Designer kelas atas mungkin sudah terbiasa dengan hal semacam ini tapi mungkin untuk designer lokal hal ini adalah bagai jarum di atas tumpukan jerami. dan bentuk sikap egois seorang designer adalah berhak mengkonfrontir setiap apresiasi negatif yang mengarah kepada karyanya. Bukan menafikan kritik atau masukan terhadap hasil karya yang masih bisa diterima baik secara logika ataupun rasa, tetapi apabila apresiasi negatif itu sudah termasuk dalam ranah penghinaan seperti “ah, desainmu terlihat pasaran…” yang bisa membuat kepala panas maka sebagai seorang designer, kita harus mengkonfrontir segala bentuk apresiasi negatif itu. Bisa dengan mendebat segala alasan penilaian hasil karya kita atau kalau kita malas berdebat, kita bisa dengan tegas menantang orang yang menyatakan apresiasi negatif itu untuk menghasilkan karya yang serupa untuk kemudian diadu menurut selera pasar. Atau caranya terserah masing-masing designer karena tentu kita semua mempunyai latar belakang yang berbeda-beda.

Semua ini tidak ada maksud apapun kecuali sebagai bentuk eksistensi kita sebagai insan kreatif. percuma saja ada asosiasi designer grafis Indonesia kalau di tingkat lokal, designer masih menjadi kambing congek klien yang notabene mayoritas buta akan estetika dan bagaimana cara mewujudkannya. Jadi masing-masing kita harus bergerak secara mandiri agar citra designer grafis menjadi kuat.

Best Regards

i and the gadget

pada postingan kali ini, aku ingin membahas tentang gadget-gadget atau lebih khususnya laptop yang pernah aku gunakan mulai pertama kali sampai sekarang. Tidak terfokus pada spesifikasinya karena aku yakin sudah banyak sekali blog yang mreviewnya berkali-kali tapi lebih ke pengalamanku sebagai pengguna, terutama untuk menyelesaikan tugas-tugas, bersenang-senang maupun untuk kegiatan yang sangat “berat” untuk si laptop seperti rendering ataupun editing.

here we go….

1. IBM ThinkPAd 570


Nah ini dia, gadget canggih yang pertama kali aku miliki. Ketika aku kuliah di desain komunikasi visual univ. negeri Malang sampai semester 4, aku belum mempunyai sebuah komputer, hal yang sangat mutlak dimiliki oleh mahasiswa desain. Setelah mencari informasi ke sana kemari, baru tau kalau salah satu kakak kelasku menjual laptop untuk keperluan bandnya. Terus terang pada saat itu (tahun 2003) laptop merupakan barang yang sangat exlusive dan jarang yang punya. Boro-boro laptop, handphone ajah masa-masa itu mahasiswa masih banyak yang pake hape monochrome. So, setelah nawar menawar tuh laptop aku beli dengan harga 3 jt, lumayan untuk sebuah laptop.

Dengan spesifikasi pentium II (lupa speednya), memory 196 Mb shared VGA, dan harddisk 6 Giga tuh laptop lumayan bisa untuk mengerjakan tugas-tugas kuliah yang didominasi dengan aplikasi grafis semisal photoshop 7 atau Coreldraw X. Untuk spesifikasi detailnya ada disini. Sempat bermasalah dengan HD, akhirnya laptop second itu bener2 mulus dengan upgrade hard disk 10 Giga ^_^ dan ber os windows XP SP 1.

Namun, berhubung ini adalah laptop pertama dan didasarkan pada sifat keingintahuanku kala itu untuk belajar komputer. Dimana sebuah hal yang sangat ironis dimana aku pada saat itu tercatat sebagai mahasiswa DKV UM tapi belum bisa komputer sama sekali, bahkan untuk aplikasi powerpoint saja. Akhirnya tuh laptop sempat koit juga tapi hanya di ranah operating systemnya karena terlalu banyak main-main. Tapi berkat bantuan kakak kelasku dan diinstal ulang akhirnya tuh laptop bisa digunakan lagi.

Setelah bertahun-tahun, sebuah kecelakaan terjadi. Layar si Thinkpad 570 tertusuk secara tidak sengaja oleh saudaraku. Layarnya bocor dan hanya ada penampakan screen putih saja. Dibeberapa sisinya juga ada noda berwarna hitam. Karena terlalu cinta oleh tuh laptop, air mata neh sempat tumpah juga (hehehe alay…^^). Terpaksa jurus rayuan maut aku lancarkan ke ortu agar diberikan uang buat pengganti tuh layar lcd. Maklum pada saat itu aku juga kerja serabutan sebagai staf promosi di dealer sepeda motor malang yang gajiannya hanya ketika pameran. Rayuan berhasil, dan dengan uang segepok aku dan seorang teman pergi ke HiTech Mall surabaya. Setelah dikonsultasikan, mau tidak mau tuh LCD harus diganti, maka proses pencarian pun dimulai. Setelah hampir beberapa jam berkeliling di berbagai toko, akhirnya ada salah satu toko yang masih punya stocknya walaupun harus kanibal dari laptop yang lain. Yah sudahlah daripada tidak bisa dipakai lagi. Uang 1,8 jt pun melayang untuk mengganti LCD yang rusak.

Setelah itu, si Thinkpad 570 mulai tergeser oleh si dekstop (item ke-2) dan aku pulangkan di rumah agar bisa dipakai oleh adik2ku buat belajar komputer. Sempat bermasalah dengan keyboard dan teratasi dengan beli keyboard external. Akhirnya tuh Thinkpad benar2 harus purna tugas setelah bermasalah dengan memorynya. Kondisi terakhir si Thinkpad berada di gudang dengan mengenaskan.

2. Dekstop (rakitan)

mesin komputer kedua yang aku miliki adalah sebuah komputer dekstop rakitan. Beli di salah satu counter komputer di kota malang dan didapatkan secara kredit di Adira selama 1 tahun. Neh dekstop lumayan tercanggih di kos2an pada masanya ^^. Berbekal processor pentium IV 2.8, memory 512, harddisk 80 Giga dan monitor GTC 17″, komputer ini sangat nyaman digunakan untuk kegiatan apapun termasuk untuk rendering video sekalipun apalagi sudah dipersenjatai oleh UPS untuk mengatasi masalah listrik di kost2an. Sempat down oleh virus Brontok dan mengganti mother board dari merk intel ke asus dan upgrade VGA Nvidia Gforce 5700 buat maen game call of duty 3 dan PES 2006, akhirnya dekstop ini tamat juga, bukan karena sudah betul-betul rusak tapi malas ngintallnya lagi, maklum DVD drivenya sudah koit dan monitornya juga bermasalah untuk resolusi standar. Kabar terakhir, VGA Card aku simpan lagi, HD dibuat buat backup laptop dengan docking, dan casing dipakai laba-laba sebagai sarangnya ^^.

3. Acer Aspire Celeron

waktu berjalan dengan riang gembira. kutinggalkan sudah masa-masa kuliah yang penuh perjuangan. Dunia kerja menantiku. Sempat menolak sebagai web designer di surabaya karena tidak cocok dengan lingkungan kerja, akupun memilih sebagai guru di SMP YIMI Gresik pada tahun 2007. Berbekal pengalaman dalam bidang desain grafis, sebetulnya aku mengincar posisi guru seni tapi yayasan menempatkanku sebagai guru TIK. Ya sudahlah dinikmati saja. Pada masa ini, laptop yang aku gunakan adalah Acer Aspire Celeron (lupa aku tipenya). Berhubung pada masa itu aku jarang sekali bersinggungan dengan grafis karena masih bisa dihandle dengan si dekstop (item ke-2) maka laptop ini hanya aku gunakan untuk keperluan kantor dan browsing saja.

 

Tidak ada komplain untuk laptop ini, karena hampir tidak pernah aku buat yang aneh-aneh maklum laptop pinjaman dari ibu ^^. Hal yang membuat aku kesengsem sama laptop ini adalah bodynya yang seksi abis, tipis sekali dengan balutan lapisan chrome yang aduhai (#halah) dan kameranya yang mampu berputar 360″. Kalau untuk performa sih, tidak terlalu unggul, maklum soalnya pakai intel celeron. Hanya setahun aku pakai laptop ini karena harus dipakai oleh yang punya sebenarnya jadi tidak bisa mengulasnya secara lengkap. Tapi walaupun begitu laptop ini terinstal program virtual dengan guest linuxmint dan dreamlinux, sekedar mencicipi aroma software grafis yang open source semisal gimp dan inkscape. Sekedar catatan, salah satu teman guru masih ada yang menggunakan laptop ini ketika tulisan ini diposting.

4. eMachine D720

Wah ini dia laptop favoritku. Aku beli ketika aku mulai pindah kerja ke SMA Kebomas sebagai guru seni budaya dan desain grafis. Pada waktu itu, statusku masih GTT, so..penghasilan masih pas2an lah. Tapi karen si Acer harus dikembalikan yang punya, maka mau gak mau aku harus beli laptop baru. Dengan budget sekitar 5 Jt an pada tahun 2008, aku review semua laptop yang ada di pasaran. aku pilih sesuai dengan spesifikasi dan harga tentunya. Sebetulnya aku pengin acer aspire yang disenjatai processor AMD dan VGA Nvidia dedicated tapi masih telalu mahal. Setelah browsing kesana-kemari dan terjebak dengan rangkaian iklan yang menjengkelkan. Tiba-tiba perhatianku tertuju pada sebuah laptop yang pas antara spec dan harga. Mereknya adalah emachines d720. Berbekal processor dual core, memory 1 Giga dan harddisk 160 Giga laptop ini sangat unggul dikelasnya (lagi-lagi harga ^^).

eMachines ini kukira adalah merk baru, seperti advance, zirex atau axioo. Tapi ternyata setalah aku cek via telp, eMachines ini bergaransi dengan acer. Bukannya aku mania dengan acer, tapi menurutku pribadi acer masih yang baik terutama masalah kompabilitas driver dan purna jual termasuk didalamnya pelayanan service. Tanpa pikir panjang, laptop ini aku tebus dengan harga 4,6 jt. Hal yang tidak aku sukai dari laptop ini adalah casingnya yang terkesan ringkih. maklum karena terbuat dari plastik kali dan untuk mengakali harga dengan spesifikasi yang lumayan pada masanya.

Untuk performa, aku kira emachines masih sangat bagus terutama untuk grafis sederhana. Bahkan untuk game call of duty II pun masih bisa jalan walaupun harus disetting ke posisi grafis paling rendah mengingat VGA laptop ini hanya 64Mb shared. Dan yang paling berkesan adalah suatu hari di bulan April 2010, aku menempati rumah baruku ^^, aku lupa kalau posisi atap yang bocor belum aku betulin, kemudian aku menjemput anakku di play grup bersama istri. Petaka pun terjadi. Tiba-tiba hujan turun dengan derasnya. Ketika pulang aku mendapati kejadian yang mengagetkan. Tuh Emachines keujanan dan dalam posisi terbuka pula. Langsung saja si emachines aku balik dengan harapan, air yang sudah masuk lewat keyboard bisa keluar. Tentunya si emachines tidak bisa dihidupkan. Aku ketakutan luar biasa..sangat luar biasa karena semua data ada di dalamnya…

Namun keajaiban terjadi, setelah beberapa hari aku balik. Iseng-iseng aku tekan tombol ON dan ternyata si eMachines berjalan dengan normal. sujud syukur aku dibuatnya ^^. Sejak itu aku yakin kalau laptop ini unggul dikelasnya. Sekedar catatan sampai tulisan ini diposting, semalem masih aku instal MAGIX Movie Edit dan berjalan dengan lancar dan masih digunakan untuk pembelajaran si Abel mengenal komputer mulai dini.

5. Macbook White

Alhamdulillah, pada item terakhir inilah mimpiku memiliki salah satu produk steve job terwujud. Nitip temanku yang kerja di Jepang akhirnya aku berhasil mendapatkan laptop impian ini. Untuk performa siapa seh yang meragukan produk apple ini. Mulai os yang stabil, bebas virus (tidak seperti “jendela” yang banyak sekali virusnya), aplikasi2 yang menawan dan tentunya gengsi yang tinggi apabila kita menggunakan produk ini. Sudah satu tahun aku pakai macbook ini dan semuanya berjalan lancar. Tulisan inipun dibuat di macbook white.

Semoga dengan beranjaknya usia, aku masih bisa mengikuti perkembangan teknologi walaupun masih di tingkat user. ^^

Singkirkan stereotip itu bung!!

Terus  terang saya menulis postingan ini karena didorong rasa kesal yang luar biasa kepada individu-individu yang berprofesi sebagai pengajar mata pelajaran seni atau pun praktisi-praktisi yang berhubungan dengan dunia seni. Kesal oleh sebuah sikap yang merepresentasikan sebuah pemikiran bagaimana individu-individu itu harus bersikap, berpenampilan dan bertindak. dan apabila kita yang tidak di bersikap, berpenampilan dan bertindak sebagaimana apa yang yang telah digeneralisasikan maka bisa dipastikan kita akan di Kick Out from The Club…

oke, ayo kita mulai…:

  1. Tidak semua guru seni harus berpenampilan yang eksentrik dimana wajah yang tak terurus, rambut yang awut-awutan, baju yang acak adut serta berbagai aksesoris yang menghiasi tubuh ini. Kalau guru seni harus sedemikian rupa, mana mau peserta didik di ajar oleh gembel walaupun tih dalam arti visual saja…
  2. Tidak semua guru seni harus berbicara politik. kalau semua guru seni berbicara politik dan karya-karyanya selalu berorientasi pada hal-hal yang berbau politis maka pantas saja kita semua tertinggal dari bangsa lain. Jepang sudah menyebarkan aroma manga dan animenya, Amerika sudah jauh melesat dengan berbagai digitak efek untuk filmnya, walaupun secara teknik toh bangsa kita bisa mengaplikasikannya tapi tidak lebih dari tiruan semata.
  3. Tidak semua guru seni harus ikutan hang out kesana kemari untuk membicarakan hal-hal yang tidak jelas. Toh lebih baik berada di dalam kamar tapi karya ataupun tutorial misalnya sudah terposting di blog dan dibaca beberapa orang tapi bermanfaat.
  4. Tidak semua guru seni harus handal dengan berbagai peralatan seni tradisional semisal kuas ataupun cat minyak. Dunia sudah berubah saudara, lukisan monalisa andaikata lahir pada tahun millenium dimana era web 2.0 merajalela mungkin tidak akan lebih dari sebuah lukisan yang teronggok di dalam galeri museum dan minim apresiasi. Sekarang era digital, guru seni harus menguasai perangkat seni digital, taruhlah hanya membuat sebuah kartu ucapan..posting di k@skus.us..tunggu saja pasti ada saja audience yeng mengkomentari karya anda walaupun dengan embel-embel mengejar ISO..^^
bersambung……………….